Sejarah Lambang Burung Garuda
Kita semua sudah
sering melihat lambang negara kita tercinta satu ini, Garuda Pancasila. Baik
kita melihatnya di ruang kelas, ruang kantor, kantor pemerintahan, maupun di
ruang publik. Tapi apakah kita tahu sejarah dan makna dari Garuda Pancasila,
latar belakang terpilihnya Garuda Pancasila sebagai Lambang Negara, Siapa
perancang Garuda Pancasila, Kapan Garuda Pancasila mendapatkan namanya?
Silahkan simak artikel berikut. Semoga bermanfaat.
Pada Agama Hindu
Pada Agama Hindu
Dalam agama Hindu,
Garuda adalah keilahian Hindu, biasanya tunggangan atau wahana (vahana) dari
Dewa Wisnu. Garuda digambarkan sebagai memiliki tubuh seorang pria yang kuat
yang keemasan dengan wajah putih, sayap merah, dan paruh elang dan dengan
mahkota di kepalanya. Dewa kuno ini dikatakan besar, cukup besar untuk
menghalangi sinar matahari.
Garuda dikenal sebagai musuh bebuyutan abadi Naga ras ular dan dikenal memakan ular secara eksklusif, perilaku yang sama juga dimiliki oleh short-toed eagle di India. Citra Garuda sering digunakan sebagai pesona atau jimat untuk melindungi pemiliknya dari serangan ular dan racun nya, karena raja burung adalah musuh bebuyutan dan penghancur ular. Garudi Vidya adalah mantra terhadap racun ular untuk menghapus semua jenis kejahatan.
Pada Mahabharata
Garuda dikenal sebagai musuh bebuyutan abadi Naga ras ular dan dikenal memakan ular secara eksklusif, perilaku yang sama juga dimiliki oleh short-toed eagle di India. Citra Garuda sering digunakan sebagai pesona atau jimat untuk melindungi pemiliknya dari serangan ular dan racun nya, karena raja burung adalah musuh bebuyutan dan penghancur ular. Garudi Vidya adalah mantra terhadap racun ular untuk menghapus semua jenis kejahatan.
Pada Mahabharata
Kisah kelahiran
Garuda diceritakan dalam buku pertama dari epik besar Mahabharata. Menurut epik
tersebut, ketika Garuda pertama menetas dari telur, ia muncul seolah seperti
neraka yang mengamuk seperti halnya kebakaran kosmik yang mengkonsumsi dunia
pada akhir setiap zaman. Merasa ketakutan, para dewa memohon padanya untuk
berbelas kasih. Garuda mendengar dan mengabulkan permohonan tersebut, ia
mengurangi tenaga dan ukurannya.
Pada Agama Buddha
Pada Agama Buddha
Di mitologi Buddha,
Garuda (Pali: Garula) adalah burung predator besar dengan kecerdasan dan
organisasi sosial. Nama lain untuk Garuda adalah Suparna (Pali: supaṇṇa), yang berarti "memiliki
sayap yang baik". Seperti Naga, mereka menggabungkan karakteristik hewan
dan makhluk ilahi, dan termasuk di antara para dewa terendah.
Ukuran yang pasti dari Garuda tidak pasti, tapi sayapnya dikatakan memiliki rentang kilometer. Dikatakan bahwa ketika Garuda mengepakkan sayap, mereka menciptakan angin badai yang menggelapkan langit dan meluluh lantakkan rumah. Seorang manusia sangat kecil jika dibandingkan dengan Garuda. Seorang pria bisa bersembunyi di salah satu bulu Garuda tanpa terlihat (Kākātī Jātaka, J.327). Mereka juga mampu merobek seluruh pohon beringin dari akar mereka dan membawa pohon tersebut terbang.
Garuda adalah burung Peng emas bersayap. Mereka juga memiliki kemampuan untuk berubah menjadi besar atau kecil, serta mampu untuk menghilang dan muncul kembali sesuka hati. Lebar sayap mereka 330 yojana (satu yojana sepanjang sekitar 12km). Dengan satu kali kepakan sayapnya, burung Peng dapat membuat laut mengering sehingga bisa melahap semua naga naga yang bersembunyi. Dengan kepakan sayap lainnya, pegunungan dapat menjadi rata dan memindahkannya ke laut.
Sejarah Terpilihnya Garuda Pancasila Sebagai Lambang Negara Indonesia
Setelah Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949 dan pengakuan kedaulatan oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar (1949) Indonesia (saat itu Republik Indonesia Serikat) merasa perlu untuk memiliki lambang negara.
Ukuran yang pasti dari Garuda tidak pasti, tapi sayapnya dikatakan memiliki rentang kilometer. Dikatakan bahwa ketika Garuda mengepakkan sayap, mereka menciptakan angin badai yang menggelapkan langit dan meluluh lantakkan rumah. Seorang manusia sangat kecil jika dibandingkan dengan Garuda. Seorang pria bisa bersembunyi di salah satu bulu Garuda tanpa terlihat (Kākātī Jātaka, J.327). Mereka juga mampu merobek seluruh pohon beringin dari akar mereka dan membawa pohon tersebut terbang.
Garuda adalah burung Peng emas bersayap. Mereka juga memiliki kemampuan untuk berubah menjadi besar atau kecil, serta mampu untuk menghilang dan muncul kembali sesuka hati. Lebar sayap mereka 330 yojana (satu yojana sepanjang sekitar 12km). Dengan satu kali kepakan sayapnya, burung Peng dapat membuat laut mengering sehingga bisa melahap semua naga naga yang bersembunyi. Dengan kepakan sayap lainnya, pegunungan dapat menjadi rata dan memindahkannya ke laut.
Sejarah Terpilihnya Garuda Pancasila Sebagai Lambang Negara Indonesia
Setelah Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949 dan pengakuan kedaulatan oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar (1949) Indonesia (saat itu Republik Indonesia Serikat) merasa perlu untuk memiliki lambang negara.
Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinasi Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Poerbatjaraka sebagai anggota. Mereka bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah
Merujuk keterangan
Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang
Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan
lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada
proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan
Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari yang
menampakkan pengaruh Jepang.
Setelah rancangan
terpilih, dialog intensif antara Sultan Hamid II, Presiden RIS Soekarno dan
Perdana Menteri Mohammad Hatta untuk penyempurnaan rancangan tersebut. Mereka
sepakat mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula pita merah putih
menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal Ika".
|
Penyempurnaan yang telah dilakukan oleh Sultan Hamid
II
|
Tanggal 8 Februari
1950, rancangan lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II
diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan lambang negara tersebut mendapat
masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan kembali, karena adanya
keberatan terhadap gambar burung Garuda dengan tangan dan bahu manusia yang
memegang perisai dan dianggap terlalu bersifat mitologis.
|
Garuda Pancasila yang diresmikan penggunaannya pada
11 Februari 1950, masih tanpa jambul dan posisi cakar di belakang pita.
|
Sultan Hamid II
kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan
berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda
Pancasila. AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep
Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan
Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS pada tanggal
11 Februari 1950.
Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih "gundul" dan tidak berjambul seperti bentuk sekarang ini. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950.
Soekarno terus memperbaiki bentuk Garuda Pancasila. Pada tanggal 20 Maret 1950 Soekarno memerintahkan pelukis istana, Dullah, melukis kembali rancangan tersebut; setelah sebelumnya diperbaiki antara lain penambahan "jambul" pada kepala Garuda Pancasila, serta mengubah posisi cakar kaki yang mencengkram pita dari semula di belakang pita menjadi di depan pita.
Dipercaya bahwa alasan Soekarno menambahkan jambul karena kepala Garuda gundul dianggap terlalu mirip dengan Bald Eagle, Lambang Amerika Serikat. Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara.
Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih "gundul" dan tidak berjambul seperti bentuk sekarang ini. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950.
Soekarno terus memperbaiki bentuk Garuda Pancasila. Pada tanggal 20 Maret 1950 Soekarno memerintahkan pelukis istana, Dullah, melukis kembali rancangan tersebut; setelah sebelumnya diperbaiki antara lain penambahan "jambul" pada kepala Garuda Pancasila, serta mengubah posisi cakar kaki yang mencengkram pita dari semula di belakang pita menjadi di depan pita.
Dipercaya bahwa alasan Soekarno menambahkan jambul karena kepala Garuda gundul dianggap terlalu mirip dengan Bald Eagle, Lambang Amerika Serikat. Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara.
Rancangan Garuda
Pancasila terakhir ini dibuatkan patung besar dari bahan perunggu berlapis emas
yang disimpan dalam Ruang Kemerdekaan Monumen Nasional sebagai acuan,
ditetapkan sebagai lambang negara Republik Indonesia, dan desainnya tidak
berubah hingga kini.
Sejak tahun 1951, belum ada nama sah dari lambang negara tersebut, sehingga memunculkan banyak sebutan, diantaranya Garuda Pancasila, Burung Garuda, Lambang Garuda, Lambang Negara, Garuda Indonesia atau hanya sekedar Garuda.
Oleh sebab itu, pada 18 Agustus 2000, melalui amandemen kedua UUD 1945, MPR menetapkan nama resmi lambang negara. Penulisan nama resmi lambang negara Indonesia tersebut terdapat dalam pasal 36 A UUD 1945 yang disebutkan sebagai Garuda Pancasila.
Nama tersebut sesuai dengan desain yang digambarkan pada lambang negara tersebut, yaitu Garuda diambil dari nama burung dan Pancasila diambil dari dasar negara Indonesia.
Filosofi Garuda Pancasila
Sejak tahun 1951, belum ada nama sah dari lambang negara tersebut, sehingga memunculkan banyak sebutan, diantaranya Garuda Pancasila, Burung Garuda, Lambang Garuda, Lambang Negara, Garuda Indonesia atau hanya sekedar Garuda.
Oleh sebab itu, pada 18 Agustus 2000, melalui amandemen kedua UUD 1945, MPR menetapkan nama resmi lambang negara. Penulisan nama resmi lambang negara Indonesia tersebut terdapat dalam pasal 36 A UUD 1945 yang disebutkan sebagai Garuda Pancasila.
Nama tersebut sesuai dengan desain yang digambarkan pada lambang negara tersebut, yaitu Garuda diambil dari nama burung dan Pancasila diambil dari dasar negara Indonesia.
Filosofi Garuda Pancasila
|
Garuda Pancasila
terdiri atas tiga komponen utama, yaitu Burung Garuda, Perisai dan Pita Putih.
Burung Garuda itu sendiri melambangkan kekuatan, sementara warna emas pada Burung Garuda itu melambangkan kemegahan atau kejayaan. Menurut Mitologi Hindu, Burung Garuda merupakan burung mistis yang berasal dari India. Burung tersebut berkembang sejak abad ke-6 di Indonesia.
Jumlah bulu pada sayap Garuda sebanyak 17, bulu diekor berjumlah 8, bulu di pangkal ekor berjumlah 19 dan bulu di leher berjumlah 45. Bulu-bulu tersebut jika digabungkan menjadi 17-8-1945, yaitu menggambarkan waktu kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.
Burung Garuda itu sendiri melambangkan kekuatan, sementara warna emas pada Burung Garuda itu melambangkan kemegahan atau kejayaan. Menurut Mitologi Hindu, Burung Garuda merupakan burung mistis yang berasal dari India. Burung tersebut berkembang sejak abad ke-6 di Indonesia.
Jumlah bulu pada sayap Garuda sebanyak 17, bulu diekor berjumlah 8, bulu di pangkal ekor berjumlah 19 dan bulu di leher berjumlah 45. Bulu-bulu tersebut jika digabungkan menjadi 17-8-1945, yaitu menggambarkan waktu kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.
Di perisai yang terdapat pada Burung Garuda, mengandung lima buah simbol yang masing-masing melambangkan sila-sila dari dasar negara Pancasila. Perisai yang dikalungkan tersebut melambangkan pertahanan Indonesia.
Simbol Bintang
|
Pada bagian tengah
perisai tersebut terdapat simbol bintang yang memiliki lima sudut. Bintang
tersebut melambangkan sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Lambang bintang tersebut dianggap sebagai sebuah cahaya, seperti cahaya
kerohanian yang dipancarkan oleh Tuhan kepada setiap manusia.
Dibagian bintang, terdapat latar berwarna hitam. Latar tersebut melambangkan warna alam yang asli yang memiliki Tuhan, bukanlah sekedar rekaan manusia, tetapi sumber dari segalanya dan telah ada sebelum segala sesuatu di dunia ini ada.
Rantai
Dibagian bintang, terdapat latar berwarna hitam. Latar tersebut melambangkan warna alam yang asli yang memiliki Tuhan, bukanlah sekedar rekaan manusia, tetapi sumber dari segalanya dan telah ada sebelum segala sesuatu di dunia ini ada.
Rantai
|
Pada bagian kanan
bawah, terdapat rantai yang melambangkan sila kedua Pancasila, yaitu
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Rantai tersebut terdiri atas mata rantai
yang berbentuk segi empat dan lingkaran yang saling berkaitan membentuk
lingkaran.
Mata rantai segi empat melambangkan laki-laki, sedangkan yang lingkaran melambangkan perempuan. Mata rantai yang saling berkait pun melambangkan bahwa setiap manusia, laki-laki dan perempuan, membutuhkan satu sama lain dan perlu bersatu sehingga menjadi kuat seperti sebuah rantai.
Pohon Beringin
Mata rantai segi empat melambangkan laki-laki, sedangkan yang lingkaran melambangkan perempuan. Mata rantai yang saling berkait pun melambangkan bahwa setiap manusia, laki-laki dan perempuan, membutuhkan satu sama lain dan perlu bersatu sehingga menjadi kuat seperti sebuah rantai.
Pohon Beringin
|
Pada bagian kanan
atas, terdapat gambaran pohon beringin yang melambangkan sila ketiga, yaitu
Persatuan Indonesia. Pohon beringin merupakan pohon besar yang bisa digunakan
oleh banyak orang sebagai tempat berteduh dibawahnya. Hal tersebut
dikorelasikan sebagai Negara Indonesia, dimana semua rakyat Indonesia dapat
“berteduh” di bawah naungan Negara Indonesia. Tak hanya itu saja, pohon
beringin memiliki sulur dan akar yang menjalar ke segala arah. Hal ini
dikorelasikan dengan keragaman suku bangsa yang menyatu di bawah nama
Indonesia.
Kepala Banteng
Kepala Banteng
|
Pada bagian kiri
atas, terdapat kepala banteng. Kepala banteng tersebut melambangkan sila
keempat Pancasila, yaitu Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan Perwakilan.
Disini, kepala banteng memiliki filosofi sebagai hewan sosial yang suka berkumpul, seperti halnya musyawarah, dimana orang-orang berdiskusi untuk melahirkan suatu keputusan.
Padi dan Kapas
Disini, kepala banteng memiliki filosofi sebagai hewan sosial yang suka berkumpul, seperti halnya musyawarah, dimana orang-orang berdiskusi untuk melahirkan suatu keputusan.
Padi dan Kapas
|
Di bagian kiri
bawah, terdapat lambang padi dan kapas. Lambang tersebut melambangkan sila ke
lima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Padi dan kapas merupakan kebutuhan dasar setiap manusia, yakni pangan dan sandang, sebagai syarat utama untuk mencapai kemakmuran. Hal itu sesuai dengan tujuan utama dari sila kelima ini.
Pada perisai terdapat garis hitam tebal yang melintang di tengah-tengah perisai. Garis hitam tebal tersebut melambangkan garis khatulistiwa yang melintang melewati wilayah Indonesia.
Sedangkan warna merah dan putih yang menjadi latar pada perisai tersebut merupakan warna bendera negara Indonesia. Merah, memiliki makna keberanian dan putih melambangkan kesucian.
Pada bagian bawah Garuda Pancasila, terlihat pita putih yang dicengkram, pita tersebut bertuliskan “BHINNEKA TUNGGAL IKA”. Tulisan tersebut ditulis dengan menggunakan huruf latin dan merupakan semboyan negara Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika, dalam bahasa Jawa Kuno memiliki arti “berbeda-beda tetapi tetap satu jua.”
Kata Bhinneka Tunggal Ika sendiri berasal dari buku Sutasoma yang dikarang oleh seorang pujangga pada abad ke-14 dari Kerajaan Majapahit, Mpu Tantular. Kata tersebut memiliki arti sebagai persatuan dan kesatuan Nusa dan Bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai pulau, ras, suku, bangsa, adat, kebudayaan, bahasa, serta agama.
Makna yang dikandung Lambang Negara Garuda Pancasila sangat sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, budaya, adat, bahasa dan agama.
Apabila seluruh masyarakat Indonesia dapat memahami filosofi lambang negara tersebut dengan baik, maka keutuhan dan persatuan bangsa bisa terjaga. Dengan Dasar Negara yang kuat, semoga Indonesia menjadi negara besar, maju, dan rakyatnya sejahtera.
Padi dan kapas merupakan kebutuhan dasar setiap manusia, yakni pangan dan sandang, sebagai syarat utama untuk mencapai kemakmuran. Hal itu sesuai dengan tujuan utama dari sila kelima ini.
Pada perisai terdapat garis hitam tebal yang melintang di tengah-tengah perisai. Garis hitam tebal tersebut melambangkan garis khatulistiwa yang melintang melewati wilayah Indonesia.
Sedangkan warna merah dan putih yang menjadi latar pada perisai tersebut merupakan warna bendera negara Indonesia. Merah, memiliki makna keberanian dan putih melambangkan kesucian.
Pada bagian bawah Garuda Pancasila, terlihat pita putih yang dicengkram, pita tersebut bertuliskan “BHINNEKA TUNGGAL IKA”. Tulisan tersebut ditulis dengan menggunakan huruf latin dan merupakan semboyan negara Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika, dalam bahasa Jawa Kuno memiliki arti “berbeda-beda tetapi tetap satu jua.”
Kata Bhinneka Tunggal Ika sendiri berasal dari buku Sutasoma yang dikarang oleh seorang pujangga pada abad ke-14 dari Kerajaan Majapahit, Mpu Tantular. Kata tersebut memiliki arti sebagai persatuan dan kesatuan Nusa dan Bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai pulau, ras, suku, bangsa, adat, kebudayaan, bahasa, serta agama.
Makna yang dikandung Lambang Negara Garuda Pancasila sangat sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, budaya, adat, bahasa dan agama.
Apabila seluruh masyarakat Indonesia dapat memahami filosofi lambang negara tersebut dengan baik, maka keutuhan dan persatuan bangsa bisa terjaga. Dengan Dasar Negara yang kuat, semoga Indonesia menjadi negara besar, maju, dan rakyatnya sejahtera.